Tuesday, July 26, 2016

Riwayat Baginda Karapatan Part #7 dari 8 : Wafatnya Nursiti Siregar


Perkenalan ku secara mendalam dengan Nursiti Siregar adalah saat beliau akan Naik Haji, lalu mengunjungi rumah kami beberapa saat ketika kami masih di Sibolga. Aku menemani beliau mencari berbagai batu putih yang banyak terdapat di halaman Kejaksaan Sibolga, sebagai bekal beliau untuk prosesi melempar jumrah. Setiapkali ibu bertanya mengenai kesiapan beliau, selalu dengan tenang beliau mengatakan bahwa dia pergi bersama seorang kerabat yang kebetulan mahasiswa, yang beliau yakini akan banyak membantu beliau saat ibadah. Namun beliau ternyata sempat terlunta lunta dan mengalami berbagai kejadian tidak mengenakkan karena terlantar termasuk saat jatuh terlentang di kamar mandi.  Meski Si Mahasiswa akhirnya kembali dan meminta maaf, namun saat kembali ke tanah air, beliau menangis dan bercerita pada Ibu, bahwa salah besar jika menggantungkan harapan pada manusia, Allahlah sebaik-baiknya tempat bergantung.

Saat di Mekah, Nursiti Siregar yang buta huruf ini selalu menyodorkan dompetnya beserta seluruhnya isi-isinya, karena dia tidak tahu cara menghitungnya. Sang penjual akan mengambil sesukanya, dan mengembalikan dompetnya kembali. Sedangkan Nursiti Siregar, pada dasarnya sangat boros, khususnya karena beliau gampang sekali lapar. Bila lapar, badannya keringatan dan berdirinya pun goyah. Maka setiap 2 atau 3 jam , beliau akan jajan, macam-macam mulai dari buah2an sampai penganan lainnya. Belum termasuk membelikan oleh-oleh untuk segenap anak dan cucu-cucunya. Sesampai di tanah  air, setelah semua oleh-oleh dibagikan, dompet dikeluarkan dan isinya dihitung. Ternyata isinya masih lebih banyak dibanding isi dompet sewaktu berangkat.

Hal-hal yang aku ingat mengenai beliau adalah karakternya yang  lembut, penyayang, ramah dan juga sangat pemurah. Setiapkali kami datang maka beliau langsung memotong bebek yang dipelihara di sungai kecil yang melintasi halaman belakang rumah beliau. Tak lama kemudian setelah beras merah matang, kamipun makan gule bebek dengan sekumpulan piring kaleng yang pinggirnya kadang-kadang sudah berkarat, piring yang memang merupakan kelaziman di masa itu. Kadang beliau mengeluarkan hidangan andalan yakni dendeng rusa goreng dengan rasa rempah yang manis.


Nursiti Siregar dan anak-anaknya, Nurmina Pohan,
Syaiful Parmuhunan Pohan dan Mayurida Pohan


Beliau juga mengumpulkan berbagai uang receh yang nantinya akan diberikan pada setiap cucu yang datang berkunjung. Saat beliau di Sibolga bersama kami, aku pernah dibentak Ibu karena menerima uang pemberian beliau. Tak mau disalahkan, maka tepat saat aku berangkat sekolah, beliau dengan diam-diam sudah menanti dekat gerbang keluar rumah, dan menyelipkan duit receh untuk jajanku di sekolah. Alasan beliau saat memberikan uang jajan, karena dia ingin dikenang cucunya. Jika dirumah kami beliau kesulitan mengeluarkan receh, sebaliknya saat menjenguk cucu-cucu di kota lain, beliau cerita malah kehabisan receh. 

Beliau juga seorang yang sangat tegar dan mandiri meski sudah ditinggal oleh Baginda Karapatan, tinggal di rumah berukuran besar dan bertingkat di masa tua bersama salah satu sepupuku yakni Edrina Pohan (tidak hanya Edrina, beberapa cucunya lainnya sempat tinggal bersama beliau). Rumah tersebut dibangun dengan keringat beliau saat pembangunannya,  bahkan termasuk terlibat dalam proses pengecoran lantai dua. Almarhum Ayah, cerita saat besi untuk kerangka cor kurang, beliau menggunakan berbagai benda termasuk kayu bekas, untuk turut ditanam dalam coran beton tersebut.

Di tahun 1970, saat kami sekeluarga pindah ke Sibolga (atas permintaan Ayah kepada kantornya agar lebih dekat dengan Ibu nya Nursiti Siregar). Saat itulah abangku pertama kali bertemu dengan beliau. Seingat abangku, beliau memakai baju atasan semacam kutang (yang pada masa itu umum dipakai orang-orang tua dan dijahit sendiri). Beliau meraung keras sambil mendekap aku ke dadanya yang dipenuhi keringat dan air mata.

Itulah awal episode dalam hidup abangku, dimana abangku mulai berkenalan dengan raungan dan teriakan khas Batak yang sering muncul pada saat berbagai acara – baik suka maupun duka. Rata-rata Bou (alias saudara perempuan Ayah), adalah mereka-mereka yang mahir melantunkan raungan isak tangis dalam setiap pertemuan keluarga. Dan sehabis menangis keras-keras, dan air mata pun kering, merekapun saling berbicara;

"Aha do panganon . . ? Male urasa"

yang artinya; 

"Ada makanan apa ? Lapar kurasa" 

Namun berbeda dengan aku yang menganggap Nurmina Pohan adalah pemegang rekor tangis-tangisan, maka dimata abangku juaranya adalah Salbiah Pohan. Kata abang, tangisannya begitu ekspresif dan dapat dilakukan sambil berdiri, dengan mata terpejam dan air mata mengalir deras tanpa melihat jelas lagi suasana sekitar. Saking khusuknya dalam tangis tersebut, pernah suatu ketika dalam acara salam-salaman, Salbiah Pohan meraung menyalami dan memeluki setiap orang (kalau tidak salah waktu itu karena akan tiba saatnya berpisah karena akan berangkat pulang ). Ternyata salah satu orang yang beliau peluk dalam deraian tangis tersebut, menanggapi dengan perkataan;

"Au do I … " yang artinya "Aku nya itu.. !"
"Boh .. ho do I" yang artinya "Oh .. kau nya itu.."


Ternyata dalam tangis hendak pamitan itu Salbiah Pohan telah berpamitan pada Paramean Siregar yang notabene adalah suaminya sendiri.   

Di rumah beliau, ada beberapa pasang tanduk rusa yang dipasang di dinding dan sering membuatku bertanya tanya rusa seperti dan sebesar apa kira-kira Si Pemilik Tanduk ini. Aku ingat beliau tertawa terkekeh kekeh saat aku bertanya “ Apa tu pung ? (sambil berusaha membentuk tanduk dengan tangan-tangan kecilku diatas kepala)”. Bisa jadi itu adalah salah satu dari hasil berburu Baginda Karapatan.

Hal menarik lainnya adalah, cara mendidik kontradiktif, seperti saat Ayah ku menolak untuk sekolah, alih-alih memarahi Ayah, beliau malah mengajak Ayah ke sawah. Lalu sepanjang perjalanan beliau mengatakan tidak keberatan atas putusan Ayah tidak bersekolah, karena kelak abang-abangnya akan membutuhkan kuli angkut di sawah mereka, tentu mereka akan memilih adiknya sendiri untuk itu. Dan mereka berhasil menjadi pemilik sawah karena mereka pintar akibat rajin bersekolah.  Keesokan paginya Ayah kembali sekolah tanpa perlu disuruh sama sekali.

Begitu juga saat Edrina Pohan dan salah satu sepupuku yang sempat tinggal bersama beliau, saat berlama lama bermain air di kamar mandi meski sudah disuruh keluar berkali kali, alih-alih tetap menyuruh mereka keluar, beliau memilih mengatakan “Rina, awas ya kalau kau keluar dan berhenti mandi”, lalu Edrina Pohan dengan segera langsung keluar.

Kali lainnya, seingatku beliau pernah minta Edrina Pohan cuci piring kaleng masing-masing setelah makan, tapi Edrina menolak. Beliau sama sekali tidak marah, namun saat makan berikutnya beliau menyodorkan piring bekas tadi pagi lengkap dengan asesoris nasi kering dan bumbu yang masih menempel. Tapi anehnya, Edrina santai saja, sehabis makan, piring dia tangkupkan, dan saat mau makan piring dibalikkannya kembali lalu diisinya kembali dengan nasi. 

Hal lain yang diingat abangku adalah baju favoritnya Edrina Pohan, yakni sebuah baju berbahan sederhana (bahan cita), dengan motif kembang2 hijau dan kuning. Tak perduli bahwa baju tersebut berbahan murah, namun merupakan baju favoritnya. Setelah dipakai beberapa hari, dicuci, tanpa menunggu disetrika, begitu kering dari jemuran, langsung disambar dan dipakai lagi. 

Nursiti Siregar jadi jengkel dan menyuruh Edrina Pohan memakai baju yang lain. Namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Baju kembang-kembang hijau kuning berbahan cita itu,  tetap memuncaki klasemen pemakaian baju-baju. Akhirnya suatu masa, baju itu pun lenyap. Dicari kemana-mana, namun tidak jua ketemu, sehingga Edrina terpaksa memakai koleksi baju lainnya yang ada di lemari. Sebulan kemudian, baju tersebut ditemukan telah menjadi "bangkai" dalam salah satu tong air di lantai dua. (rumah yang ditempati beliau merupakan bangunan dua lantai, yang memang direncanakan menjadi hotel, namun lantai dua nya belum selesai seluruhnya).  Terdakwa tentu saja hanya ada dua , Edrina Pohan atau Nursiti Siregar, karena pembaca dapat menebaknya, dengan demikian misteri ini dinyatakan selesai. 

Nursiti Siregar adalah sosok yang berpembawaan tenang dan terkesan lambat, namun walau demikian beliau sangat telaten. Misalnya saat anak2nya bangun pagi untuk ke sekolah, di dekat dapur telah tergantung sejumlah hadangan (tas tradisional yang terbuat dari anyaman pandan), yang masing2 telah diperuntukkan untuk anak2nya (sebagai bekal makan siang). Sedangkan beliau sendiri telah berlalu ke ladang. Bisa dibayangkan kapan beliau menyiapkan semua itu. Jika akan lebaran, atau pun persiapan perjalanan jauh, beliau sudah jauh hari secara bertahap melakukan persiapan. 

Meski tidak bisa baca tulis, namun dengan tenangnya saat ada program pemberantasan buta huruf dari rumah ke rumah, beliau selalu lolos. Kepada setiap petugas yang datang, beliau selalu mengatakan; 

"Alahh.. amang .. salangkon anak dohot borukku ginjang2 sude sikkola na .." 

yang artinya 

"Yahh.. nak . sedangkan anak2ku sekolahnya tinggi2 semua .." 

Dengan demikian, petugas penyuluhan mengambil asumsi yang salah, yakni seorang ibu yang anak2nya berpendidikan tinggi, tentunya adalah seorang ibu yang pasti bisa baca tulis. Demikanlah beliau selalu lolos dari terkaman angka statistik buta huruf.


Suatu ketika, waktu di Sibolga, abangku membeli mainan kodok yang memiliki pegas yang dapat diputar. Iseng abang ke dapur saat beliau  sedang ikut memasak (karena antara tahun 1970 – 1976 kami tinggal di Sibolga, Tapanuli Tengah, maka pertemuan dengan kaum kerabat yang ada di Sumatera cukup intens, termasuk dengan beliau yang berdomisili di Padang Sidimpuan, kl. 50km dari Sibolga). Lantas abangku teriak, "Ompung ! pung ! ada kodok ! ..", beliau membungkuk melihat sang kodok mainan yang mendekati kakinya. Kemudian dengan sedikit terengah dia menunduk dan mengayunkan pisau lipat kecilnya (yang kala itu digunakan untuk mengupas bawang), dan dia mengayunkan pisau nya itu berkali-kali ke punggung sang kodok. Sementara si kodok, masih terus berputar putar menunggu putaran pegasnya habis. Dengan cepat abangku menyelamatkan kodok (yang baru dia beli tersebut).  

Memiliki banyak cucu tak lantas membuat beliau melupakan cucu lainnya, saat menggendong Zulfan di punggungnya, yakni cucu bungsu dari putri keenamnya alias Mayurida Pohan, beliau melakukannya seakan menggendong seluruh cucunya. Lalu beliau bersenandung

Upan, Upan Poco (panggilan untuk Zulfan)
Ku Hoppa do pahoppuku sude (ku gendong semua cucuku)


Sedikit cerita menarik tentang sepupu kami Zulfan, diwaktu remaja, pernah bercita2 menjadi petinju. Namun dilarang ayahnya (Tunggul Siregar ). Ayahnya mengatakan sbb;

"Tak apa kau jadi petinju ..
Namun yang ayah takutkan, pas kau dipukul lawanmu ..
Malah Ibumu yang menonton yang KO."

Beberapa lama setelah Baginda Karapatan meninggal, ketiga anak lelaki beliau berembuk, dan lantas meminta Nursiti Siregar memilih diantara sembilan anaknya dimana dia yg paling berkenan dan cocok untuk tinggal. Beliau mengunjungi semua anaknya dan pilihannya jatuh pada Mayurida Pohan, yang biasa dipanggil beliau dengan Si Butet. Mendengar pilihan beliau, ketiga anak lelaki agak kaget, karena rumah Mayurida Pohan  saat itu kecil sekali. Namun karena di belakang rumah mereka ada rumah yang mau dijual, akhirnya diputuskan untuk membeli rumah tersebut bagi Nursiti Siregar.

Oloan Pohan memutuskan untuk mengurus pembelian dan pembangunan mewakili ketiga anak lelaki lainnya. Sedangkan biaya pembelian rumah itu berasal dari uang pembagian warisan penjualan rumah Baginda Karapatan di Padang Sidempuan. Ketiga anak lelaki tidak mau menerima warisan penjualan rumah tersebut, karena mereka bertiga telah sukses di perantauan. Mereka menyerahkan warisan tersebut dibagi diantara saudara perempuan mereka saja. 

Beliau akhirnya meninggalkan kami semua beberapa saat setelah pulang dari Ibadah Haji. Sebelumnya beliau demam merasa lemas, meski sudah dibawa menantu dari anak bungsunya Nurlena Pohan, yakni Muchtaruddin ke dokter. Malam harinya beliau masih minta dibelikan sate lalu saat subuh beliau akhirnya berpulang. Keduanya dimakamkan di Gg.Sado, dibelakang Masjid Al Fallah, Medan.  

Tatkala Nursiti Siregar wafat, saat itu banyak sekali orang datang ikut berbelangsungkawa dan melayat atas wafatnya beliau. Anehnya bukan hanya kaum kerabat terdekat, bahkan tetangga jauh, termasuk pemeluk agama lain juga terlihat ikut datang melayat. Jejeran mobil dan motor para pelayat mengular panjang puluhan meter di sisi kanan kiri jalan. Demikian banyaknya pelayat yg datang sampai banyak orang yang kebetulan lewat, mengira bahwa yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat atau pejabat.

Bagi kami para keturunannya, hal itu bisa jadi karena semasa hidupnya beliau memang ramah pada siapa saja, bahkan termasuk pada pengemis yang datang ke rumahnya. Tanpa sungkan diajak beliau berbincang bincang dan dijamunya makan dan minum selayaknya saudara. Banyak kesaksian ,saat beliau wafat wajahnya memang  terlihat seperti orang tersenyum, lembut dan damai, seperti hatinya. Hingga kini nyaris semua cucunya mengenang kesabaran, kelembutan yang sifat penyayang beliau.



*Mengenai beliau menggendong Zulfan Siregar, sesuai cerita Erwin Siregar
*Mengenai kisah lain termasuk Edrina Pohan, sesuai cerita Nursiti Siregar pada Siti Hajar Lubis 
*Mengenai meninggalnya Nursiti Siregar sesuai cerita Febrina Natalie 
*Suasana saat meninggal dan soal warisan rumah di Padang Sidempuan sesuai cerita Erwin Siregar. 
*Soal kodok, pemberantasan buta huruf sesuai cerita Anwar Syafri Pohan. 

No comments: