Tuesday, July 26, 2016

Riwayat Baginda Karapatan Part #2 dari 8 : Menikah dengan Nursiti Siregar

Istri Baginda Karapatan berasal dari Desa Huta Padang atau sebagian orang menyebutnya Desa Ujung Padang. Berjarak kurang lebih 20 km dari Pasar Sipirok. Untuk menuju kesini harus melintasi antara lain Desa Bunga Bondar, Arse, dan Simpang Rocitan.

Konon kabarnya beliau saat harus menuju rumah pujaan hati harus menggunakan kuda menempuh jarak yang cukup jauh apalagi jika diukur dari Desa Sialaman (7 km dari Sipirok arah Pal Sabolas). Kegigihan beliau akhirnya tidak sia-sia dan berbalas, dengan jatuh hatinya Sang Gadis yakni Nursiti Siregar.


Nursiti Siregar


Pernikahan ini juga sekaligus menandai bersatunya Desa Sialaman dengan Desa Huta Padang. Penyatuan kedua remaja dari kedua desa tersebut sepertinya dinilai sukses, agaknya menjadi inspirasi untuk diulangi kembali yakni saat anak kempat beliau alias Oloan Pohan, menikahkan anak sulungnya Ahmad Amru Pohan yang kembali mempersunting gadis dari Huta Padang dan dirayakan 2 hari 2 malam. Tradisi ini dikenal juga dengan Manyunduti alias Mangulaki Pangkal (kembali ke asal). 

Nursiti Siregar, merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara sekaligus satu-satunya perempuan. Hubungan beliau sangat dekat terutama dengan abang ketiganya. Seringkali, jika tengah berada di sawah, dan beliau merasa rindu pada abangnya, entah darimana tiba-tiba muncullah sang abang menjenguk adiknya, karena kuatnya persaudaraan diantara mereka.

Abang ke tiganya ini lebih banyak di perantauan. Suatu ketika dia datang berkunjung ke rumah abang kedua, dimana Nursiti Siregar tinggal. Di situ dia melihat betapa adiknya bekerja keras di rumah tersebut, mengurus keponakan-keponakannya. Dan kakak iparnya yang berwatak sedikit kaku, setiap selesai makan, kakak iparnya mengumpulkan sisa-sisa makanan anaknya untuk disatukan ke piring menjadi makanan bagi Nursiti Siregar.  

Tidak senang melihat hal tersebut, abang ketiga yang sangat sayang dengan adiknya yang selalu dia katakan dengan 

"Mukona na sumanan dohot inanta" 

yang artinya 

"Wajahnya sangat mirip dengan muka mendiang ibu".

Agar adiknya memiliki tempat bernaung hidup, maka di usia nya yang ke 17, abang ketiga memutuskan menikah agar sekaligus dapat mengasuh Nursiti Siregar. Abang pertamanya sendiri sempat lenyap di perantauan selama bertahun-tahun, Lalu saat usia senja, datang seorang kakek yang ingin bertemu dengan Nursiti Siregar, ternyata beliaulah abang pertama yang selama ini menghilang. Kelak cucu beliau sempat dibantu Ayah bekerja di kantor Ayah dan pensiun beberapa tahun yang lalu sebagai salah satu pegawai berprestasi. 

Saat remaja Nursiti Siregar, memiliki tubuh langsing, namun sejak meninggalnya anaknya yang bernama Zen atau Zaini Pohan, beliau banyak larut dalam duka, lalu melampiaskan rasa sedihnya dengan banyak makan. Mungkin itu sebabnya kami para cucunya kadang memanggilnya Ompung Gendut. 

Kehidupan Nursiti Siregar memang penuh cobaan. Ditinggal ibunya saat sekitar empat tahun dan lalu Ayahnya menikah lagi, sehingga beliau memiliki sejumlah saudara tiri. Diantaranya, yang memiliki anak bernama Pangeran (yang anak perempuannya pernah dijadikan Baginda Karapatan sebagai kandidat calon mantu bagi Ayahku).  

Kembali ke belakang, suatu ketika, Baginda Karapatan pergi ke suatu kampung, ingin mencari istri. Syarat beliau yang memang  sangat jelas, yakni, istri yang orangtuanya lengkap. Beliau tidak mau mendekati calon yang orangtuanya tidak dikenalnya. Saat memasuki kampung, Baginda Karapatan sedang asik memantau, tampaklah di depan sebuah rumah, seorang gadis yang tengah asyik menggendong dan menjaga keponakannya. Sempat saling berpandangan dan masing-masing saling membatin. 

Tidak jelas apa yang ada di batin Baginda Karapatan, tapi apa yang ada di batin Nursiti Siregar dijelaskannya sekian puluh tahun kemudian ke Ibuku. Demikian cerita beliau 

"Jadi maen, dompak I jolo bagas I ma au, adong huida sada bayo mangaligi au. 
Ama na lomlom bayo inang .. 
Dungi au pe lupa ma. 
Apengani inda sadia lolot ro ma bayo I dohot koum nia, get mangalap au .."  

dengan terjemahan sbb

"Jadi maen (panggilan ke mantu perempuan, singkatan dari kata parmaen), sewaktu aku tengah di depan rumah, aku lihat ada seorang lelaki memperhatikan aku.. luar biasa hitamnya lelaki itu maen .. Ee.. tidak taunya, beberapa saat kemudian, lelaki itu dengan didampingi kerabatnya datang untuk melamar aku". 

Baginda Karapatan, memang tersohor karena kekontrasannya. Kulit badan yang gelap mengkilat, lalu giginya luar biasa bersih (kemana2 beliau selalu mengantongi sikat gigi) serta saat tua rambut yang putih seluruhya bagaikan perak. Dan kemana pun beliau jalan selalu memakai piyama.  Mengingat Nursiti Siregar yang saat itu adalah yatim piatu, sepertinya Baginda Karapatan jatuh cinta pada pandangan pertama dan langsung lupa persyaratan yang dia buat sendiri. 

Demikianlah, saat Nursiti Siregar atas saran abangnya menerima pinangan Baginda Karapatan. Maka berangkatlah sang calon pengantin ini diantar abang ketiga ke Sialaman. Kampung Sialaman, saat itu masih merupakan daerah yang semi hutan (Ayahku saat sekolah rakyat atau disingkat SR/SD, bahkan sempat bersua dengan beruang).

Nursiti Siregar remaja pun berjalan menyusuri hutan dengan abang ketiganya. Di beberapa bagian perjalanan yang penuh pendakian, karena tak lagi kuat berjalan Nursiti Siregar kadang digendong abang ketiganya. Menurut Ibuku, saat itu Nursiti Siregar masih berusia sekitar 14 tahun, dan belum mendapatkan tanda-tanda kedewasaan seperti menstruasi. 


Karena kelembutannya,  Baginda Karapatan sangat mencintai Nursiti Siregar, bahkan kepada semua anak lelakinya (setengah mengultimatum dan setengah memaksa), beliau menugaskan anaknya untuk menikahi dengan boru bermarga Siregar, 

"Songon umak mu !!"  

yang artinya 

"Seperti ibu kalian .. !!". 

Demikian kata beliau.

Dalam acara pernikahan umumnya selalu dilakukan Upa-upa, alias prosesi dengan semacam tumpeng, namun tidak asal tumpeng saja, tetapi harus memiliki berbagai pelengkap dan makna sebagai berikut;


  • Tampah : Untuk memilah yang baik dan buruk, namun sebaiknya tampah yang dipakai adalah yang berbentu persegi empat, dimana posisi telur ayam sengaja didekatkan pada sasaran yang akan di upa-upa. 
  • Daun Pisang : Pisang hanya berbuah sekali lalu mati, demikian pula hendaknya pasangan, hanya dipisahkan kematian.
  • Ayam : Selalu bangun di pagi hari, memanggil anak2nya untuk berbagi makanan.
  • Tiga Telur Ayam : Menggambarkan Dalihan Na Tolu (kahanggi alias saudara semarga, anak boru alias semua marga yang menikahi wanita marga kita dan mora alias semua marga wanita yang dinikahi marga kita) dan putih/bersih nya bagian putih telur serta keindahan kuning emas di bagian dalam.
  • Garam : Menjadi sosok seperti garam memberi rasa pada setiap masakan dan diperlukan oleh setiap orang.
  • Udang : Jika bertabrakan salah satu mundur, menggambarkan konflik hanya akan dapat selesai dengan mengalah dan sabar.
  • Daun sirih dengan berbagai isi seperti kapur, dll : Meski dalam rumah tangga ada banyak rasa, namun keluar tetap dibungkus dengan daun untuk menutupi aib masing-masing pasangan.
  • Ikan Mera: Hanya hidup dilingkungan berair bersih dan mengalir. Namun karena sulitnya mendapatkan ikan ini, tidak mudah dibudidayakan dan harganya yang mahal, maka dalam banyak prosesi digantikan dengan Ikan Mas.  


*Sesuai cerita Rudi Ramon Pohan mengenai kisah kasih Baginda Karapatan
*Khusus mengenai makna prosesi upa-upa seusai cerita Soheh Pohan, sedangkan bentuk nampan dan Ikan Mera sesuai masukan Anwar Syafri Pohan. 

No comments: